Rabu, 07 Juni 2017

CONTOH KASUS KORUPSI, PEMALSUAN, PEMBAJAKAN DAN DISKRIMINASI

CONTOH KASUS KORUPSI, PEMALSUAN, PEMBAJAKAN DAN DISKRIMINASI







DISUSUN OLEH :

 Mevita  Silviana         16214608

Kelas :  3EA43


MATA KULIAH ETIKA BISNIS
Dosen : STEVANI ADINDA NURUL HUDA, SE., M.IBF

FAKULTAS EKONOMI
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
UNIVERSITAS GUNADARMA
2017






Contoh Kasus Korupsi
Malinda Dee Divonis 8 Tahun Penjara
JAKARTA, KOMPAS.com — Majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis delapan tahun penjara kepada Inong Malinda Dee binti Siswo Wiratmo (49). Majelis hakim yang diketuai Gusrizal dalam sidang di ruang sidang utama PN Jaksel menilai terdakwa Malinda terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana perbankan dan pencucian uang yang didakwakan kepadanya.
"Menjatuhkan hukuman pidana kepada terdakwa Inong Malinda Dee binti Siswo Wiratmo hukuman penjara selama delapan tahun dan denda sebesar 10 miliar rupiah," kata Ketua Majelis Hakim Gusrizal membacakan putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (7/3/2012).
Hakim menilai seluruh dakwaan yang dikenakan kepada mantan Relationship Manager Citibank itu terbukti secara sah dan meyakinkan. Empat dakwaan yang dikenakan kepada Malinda terdiri atas dua dakwaan terkait tindak pidana perbankan, yaitu dakwaan primer Pasal 49 Ayat (1) huruf a UU Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP joPasal 65 Ayat (1) KUHP serta dakwaan subsider pertama, Pasal 49 Ayat (2) huruf b UU No 7/1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No 10/1998 tentang Perbankan juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Malinda juga dianggap terbukti bersalah melakukan tindak pidana pencucian sebagaimana disebutkan dalam dakwaan subsider kedua Pasal 3 Ayat (1) Huruf b UU No 15/2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No 25/2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP dan dakwaan subsider ketiga Pasal 3 UU No 8/2010 tentang Pencegahan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Putusan majelis hakim berselisih lima tahun dengan tuntutan jaksa. Hal yang meringankan terdakwa dalam pertimbangan hakim adalah terdakwa masih memiliki anak-anak yang membutuhkan asuhan orangtua. Sementara itu, hal yang memberatkan, antara lain, adalah Malinda dianggap berbelit-belit dalam menyampaikan keterangan di persidangan.

PENYELESAIAN
      Penerapan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dalam penanggulangan Kasus Korupsi. 

Undang-Undang ini telah diterapkan dalam penanganan kasus Bahasyiem dan Gayus  sebelumnya dan memperoleh hasil yang memuaskan dan signifikan, dengan penerapan asas beban pembuktian terbalik (the shifting of burden of proof). Didalam kasus korupsi, apabila jaksa tidak dapat membuktikan kesalahan terdakwa menyebabkan terdakwa harus di bebaskan, sudah menjadi rahasia umum bahwa sistematisasi pemberian dan korupsi itu terbungkus sangat rapi, sehingga sulit untuk dilacak. Antara lain memberian dalam bentuk fisik (tunai), bukan dengan cara transfer, sebab dengan cara transfer akan sangat mudah untuk dilacak dari nomer rekeningnya.  Asas pembuktian terbalik telah diterapkan yaitu pada UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi yang menggunakan asas pembuktian terbalik  ( pada Pasal 12B, 12C, serta 37 ) dan .Keunggulan UU ini adalah terletak pada kewajiban Lembaga Penyedia Jasa Keuangan dan Lembaga Penyedia Barang untuk melaporkan kepada PPATK tentang transaksi keuangan mencurigakan untuk dianalisis oleh PPATK dan menghasilkan Laporan Hasil Analisis (LHA).
Dalam penerapannya, tidak ada ketentuan yang mengharuskan untuk mengungkap kasus korupsinya dulu barulah tindak pidana money laundering, penerapan pasal pencucian uang dapat menjadi strategi bagi KPK untuk mengungkap kasus tindak Pidana korupsi dengan cara menelusuri aliran transaksi keuangan dari rekening si pelaku. Ini sebagai strategi baru dalam pengungkapan suatu tindak pidana kejahatan, bukan dari hulu melainkan dari hilir. Karena pada hakikatnya kejahatan Money Laundry bukanlah suatu kejahatan  yang berdiri sendiri, namun sebagai bentuk follow up atau modus untuk menyamarkan asal-usul uang yang telah didapat dari suatu tindak pidana yang telah dilakukan sebelumnya, agar seolah-olah uang tersebut menjadi legal asal usulnya.
Jika dalam penanganan kasus korupsi kemudian kita menggunakan UU Tindak Pidana Korupsi maka yang kita dapat hanyalah memenjarakan pelaku, namun apabila kita juga menjerat para pelaku dengan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, maka ada satu bentuk upaya penyelamatan uang negara dengan cara penyitaan aset pelaku sebelum ataupun sesudah kasus korupsi tersebut terbukti di pengadilan. Undang-Undang TPPU memprioritaskan untuk mengejar aset. Kasarnya, dengan UU TPPU kita bisa ‘memiskinkan’ pelaku korupsi dengan penyitaan aset yang dicurigai sebagai barang bukti dari kejahatan yang disembunyikannya dengan cepat.

Contoh Kasus Pemalsuan
Sukmawati Tersangka Pemalsuan Ijazah


VIVAnews - Kepolisian menetapkan mantan calon legislator dari Partai Nasional Indonesia Marhaenisme, Sukmawati Sukarno, sebagai tersangka pemalsuan ijazah. Anak Proklamator Sukarno itu diancam penjara maksimal 6 tahun penjara.
"Dia diperiksa sebagai tersangka ijazah palsu," ungkap Direktur I Keamanan Trans Nasional Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI, Brigadir Jenderal Badrodin Haiti, saat dihubungi, Kamis, 13 November 2008.
Dalam pemeriksaan pertamanya yang berlangsung dari pukul 10.00 sampai pukul 15.45 Waktu Indonesia Barat, Sukmawati tak mengakui telah memalsukan ijazah Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Jakarta. Namun polisi tak bisa mempercayai ijazahnya karena pihak sekolah telah mengkonfirmasi "Kalau dia sekolah di sana hanya kelas satu sampai dua." "Tapi waktu kita tanya, ijazah aslinya, dia bilang hilang," kata Badrodin.
Polisi menggunakan Undang-undang No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu untuk menjerat adik kandung Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Megawati Sukarno, itu. "Kalau nanti terbukti, dia akan dikenakan pasal 266 UU 10/2008 tentang pemalsuan dokumen. Tuduhannya itu. Tapi dia sekarang mengelak," kata Badrodin. Namun polisi akan terus mendalami dengan melanjutkan memeriksa sejumlah saksi.

Untuk diketahui pasal 266 berbunyi:
"Setiap orang yang dengan sengaja membuat surat atau dokumen dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang memakai, atau setiap orang yang dengan sengaja menggunakan surat atau dokumen yang dipalsukan untuk menjadi bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota atau calon Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dan dalam Pasal 73, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah)."

Sukmawati sebelumnya mendaftar sebagai calon legislator nomor urut 1 dari daerah pemilihan Bali. Sebelum dugaan ijazah palsu mengemuka, Sukmawati memilih mengundurkan diri terlebih dulu.

PENYELESAIAN
Untuk menghindari penggunaan ijazah palsu maka harus diperlukan suatu teknologi untuk proses pengecekan. Akan tetapi seharusnya perguruan tinggi sudah saatinya untuk melakukan perubahan dalam proses pencetakan ijazah yang menggunakan tanda tangan digital. Tanda tangan digital merupakan salah satu tanda tangan elektronik untuk membuktikan keaslian suatu ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi.Dan sudah saatinya ijazah yang diterbitkan oleh perguruan tinggi harus mengganakan tanda tangan digital. Dan jika ijazah tersebut digunakan oleh pihak perusahaan atau instansi pemerintah, maka perusahaan tersebut harus juga menyediakan mesin pembaca ijazah atau yang sering disebut dengan card Reader. 
Untuk memanfaatkan teknologi tersebut tentunya sebagai user harus berupaya dalam mengimplementasikannya agar semua proses penerbitan dan pengecekan ijazah dapat berjalan dengan baik.
Akhirnya barangkali yang diperlukan adalah keseriusan kita untuk kembali berbenah diri dengan tekad dan semangat yang baru untuk meningkatkan mutu pendidikan kita. Hari esok harus lebih baik dari hari ini .Penomena ijazah palsu dan beras palsu harus dihentikan secara paksa. Peran masyarakat sangat diharapkan untuk mengawal dalam pemberantasan baik yang terstruktur ataupun oknum-oknum pencari uang yang cara instan. Jangan sampai ada pejabat pemerintah, swasta bahkan professor masuk penjara, sehingga memungkinkan dapat memperparah kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pendidikan di Indonesia.Tuntaskan Ijazah Palsu dan pada saat yang sama kita perbaiki system pendidikan tinggi sehingga setiap orang memperoleh ijazah dan dapat mempergunakannya dengan bangga dan dapat memberikan kontribusi positif kepada pembangunan bangsa dan Negara Indonesia.

Contoh Kasus Pembajakan
Kasus Pembajakan Situs Resmi PT. Mustika Ratu

Dibawah ini adalah contoh kasus yang diangkat oleh website majalah tempo tentang cybercrime domain name.
PERADILAN pidana Indonesia kini memasuki dunia baru. Untuk pertama-kalinya, kasus situs di jagat internet disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Terdakwanya Tjandra Sugiono, 32 tahun, Presiden Direktur PT Djagomas, perusahaan di bidang teknologi informasi. Tjandra dituduh telah membajak nama domain www.mustika-ratu.com di situs dunia maya. Menurut Jaksa Suhardi, Tjandra, yang lulusan computer science dari Universitas North Eastern, Amerika, mendaftarkan nama domain Mustika Ratu ke Network Solution Inc. di Amerika, pada 7 Oktober 1999.
Ketika itu Tjandra sebagai Manajer Umum Pemasaran Internasional PT Martina Bertho, produsen jamu dan kosmetik tradisional Sari Ayu, bertugas memasarkan produk Sari Ayu di luar negeri. Kebetulan, Tjandra adalah menantu Ratna Pranata, adik kandung Martha Tilaar, bos Sari Ayu-saingan utama PT Mustika Ratu milik Mooryati Sudibyo. Kontan Mustika Ratu, sebagai pemilik merek dagang yang nama domainnya di-serobot, merasa berang. Apalagi situs buatan Tjandra justru menampilkan produk Sari Ayu. 
Perbuatan Tjandra, kata Jaksa Suhardi, tergolong persaingan curang dengan cara menipu masyarakat konsumen dan merugikan Mustika Ratu. Karenanya, jaksa membidik terdakwa dengan Pasal 382 bis KUHP, yang berancaman maksimal hukuman setahun empat bulan penjara. Selain menggunakan pasal persaingan curang di KUHP, yang dulu acap diterapkan pada kasus pembajakan merek dagang, jaksa juga menjaring terdakwa dengan Pasal 19 Huruf b dan Pasal 48 Ayat (1) Undang-Undang Antimonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pasal ini mengancam pelaku usaha yang menghalangi masyarakat konsumen berhubungan dengan pelaku usaha saingannya, dengan denda minimum Rp 25 miliar atau maksimum Rp 100 miliar.
Sepintas, dakwaan jaksa cukup seram. Toh, Tjandra mengaku dirinya tak beritikad buruk membajak nama domain Mustika Ratu. "Kalau saya beritikad buruk, ngapain saya cantumin nama saya," ujar Tjandra. Buktinya, tutur Tjandra, pada September 2000 ia telah mencabut domain itu dari Network Solution dan mengembalikannya kepada Mustika Ratu. Lagi pula, kata pengacara Tjandra, Didi Irawadi Syamsudin, Tjandra tak menjelek-jelekkan apalagi merugikan Mustika Ratu lewat domain tersebut. Soalnya, kata Didi, Tjandra tak mengisi apa pun di situs itu. Bagi Didi, kliennya tak bisa dianggap melanggar hukum. Sebab, di dunia maya, siapa pun boleh mendaftarkan nama domain apa pun. Toh, nama domain cuma sekadar alamat atau nomor telepon untuk mempermudah pencarian informasi melalui internet. Nama domain di jagat maya tak seperti nama merek dagang di dunia nyata.
Yang penting, begitu suatu nama terdaftar, pendaftar berikutnya tak boleh menggunakan nama domain serupa. Kalau nama digital berbuntut com sudah didaftarkan orang lain, pendaftar berikutnya bisa memakai nama berakhiran org, net, atau co.id. Itulah yang dilakukan Mustika Ratu dengan nama domain www.mustika-ratu.co.id. Sementara itu, ada orang lain di Amerika yang juga mendaftarkan domain dengan nama mustikaratu.com, mustikaratu.net, dan mustikaratu.org. "Kalau Mustika Ratu merasa dirugikan, kenapa pendaftar lainnya itu tak dituntut?" kata Didi. Menurut anak dari pengacara senior Amir Syamsuddin itu, perkara Tjandra tak layak diadili. Sebab, hingga kini belum ada undang-undang khusus tentang cyber law.
Pasal persaingan curang dalam KUHP ataupun dalam Undang-Undang Antimonopoli yang diterapkan jaksa, kata Didi, tidak tepat karena Tjandra bukan pesaing Mustika Ratu. PT Martina Bertho juga menyatakan, perkara Tjandra tak berkaitan dengan PT Martina. Perbuatan Tjandra dilakukan sebagai Presiden Direktur PT Djagomas, bukan sebagai Manajer Umum Pemasaran Internasional PT Martina. Tapi, kata jaksa, Tjandra mundur dari jabatan di PT Martina Bertho pada Juni 2000 setelah kasus terjadi. Kalau Undang-Undang Antimonopoli dipaksakan, kata Didi, itu pun bukan komptensi pengadilan, melainkan wewenang Komisi Persaingan Usaha. Ini pun dengan catatan masih masih ada persoalan menyangkut yurisdiksi hukum. Sebab, perkara internet menyangkut dunia maya dan pendaftaran nama domainnya di Amerika. Sekalipun demikian, Didi membenarkan kemungkinan perkara Tjandra lebih tepat diuji di pengadilan perdata. Pendapat senada juga diutarakan ahli hukum internet di Universitas Padjadjaran, Bandung, Ahmad M. Ramli. "Kalau diterapkan Pasal 382 bis KUHP ataupun Undang-Undang Antimonopoli, itu bukan hanya tak tepat dan tak adil, tapi juga tragedi bagi dunia cyber," kata Ramli. Boleh jadi Didi dan Ramli merujuk pendapatnya pada pelbagai kasus penyalahgunaan nama domain yang pernah terjadi di Amerika. Tentu termasuk pula kasus pendaftaran nama domain lebih dulu untuk kemudian dijual dengan harga selangit kepada yang berminat, bahkan kepada pemilik asli nama yang digunakan. Ini mirip rimba merek dagang di Indonesia. Berbagai kasus itu telah diputuskan, baik oleh pengadilan maupun arbitrase di Organisasi Dunia untuk Hak-Hak Milik Intelektual (WIPO). Di antaranya kasus penggunaan nama artis Hollywood, Julia Roberts. Ada pula kasus Dennis Toeppen, sang pembajak merek terkenal yang telah dihukum berkali-kali supaya membayar ganti rugi. Satu hal penting yang diterapkan pada aneka perkara di Amerika itu adalah itikad baik bagi pengguna dan pendaftar nama domain.

PENYELESAIAN
Dari contoh kasus diatas, saya dapat menyimpulkan bahwa memang perlu dibuatnya undang-undang dalam dunia internet (cyber law) di Indonesia. Undang-undang yang mengatur segala hal dalam dunia cyber. Yang pastinya undang-undang tersebut dibuat oleh para pakar IT yang ahli dibidangnya.
Internet bukan suatu hal yang baru lagi, bahkan tingkat SD pun sudah menggunakan internet sebagai tempat untuk mencari bahan pelajaran. Karena itu sebaiknya pemerintah perlu memikirkan lagi tentang cyber law.
Seperti kasus diatas, jika ada undang-undang yang mengatur tentang domain name, kemungkinan pihak yang membuat namawww.mustika-ratu.com dapat dituntut karena menggunakan nama domain yang sama dengan nama perusahaan, yang sebenarnya apa yang ditampilkan di dalam website tersebut adalah bukan produk buatan mustika ratu tapi buatan sari ayu.
Tapi sayangnya di Indonesia belum ada undang-undang yang cukup jelas tentang cyber, khususnya domain name pada kasus ini. Malah dikaitkan dengan pasal 382 bis KUHP, yang berancaman maksimal hukuman setahun empat bulan penjara. Selain menggunakan pasal persaingan curang di KUHP, yang dulu acap diterapkan pada kasus pembajakan merek dagang, jaksa juga menjaring terdakwa dengan Pasal 19 Huruf b dan Pasal 48 Ayat (1) Undang-Undang Antimonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pasal ini mengancam pelaku usaha yang menghalangi masyarakat konsumen berhubungan dengan pelaku usaha saingannya, dengan denda minimum Rp 25 miliar atau maksimum Rp 100 miliar.
Pasal ini menurut saya tidak cukup kuat untuk menjatuhkan hukuman karena tidak kuatnya isi pasal tersebut dengan kasus yang ada. Apalagi dunia cyber, semuanya serba maya, tidak bisa dihubungkan dengan pasal-pasal tersebut.
Saran saya, pemerintah atau siapa pun itu yang ahli di bidang IT, mungkin Roy Suryo, dapat memikirkan cyber law untuk kedepannya. Karena pastinya untuk 10 tahun kedepan, dunia cyber akan makin marak dengan berbagai kemungkinan yang tidak mungkin tapi bisa menjadi mungkin didunia cyber. Tapi harus berhati-hati jika membuat cyber law, jangan sampai merugikan pihak yang tidak bersalah.

Contoh Kasus Diskriminasi
Kasus Diskriminasi RAS di Yogyakarta
Dalam beberapa bulan terakhir ini, seorang penduduk Yogyakarta berusia 60-an, berupaya menghubungi Sultan Hamengkubuwono X untuk menanyakan tentang hak kepemilikan tanah di kota kelahirannya yang ia anggap diskriminatif.
Siput Lokasari mulai mengontak Sultan beberapa bulan lalu untuk meminta Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta ini membatalkan Surat Instruksi Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang dikeluarkan pada 1975 lalu, berisi larangan warga nonpribumi memiliki tanah.
"Kenapa harus ada diskriminasi ras... Orang Tionghoa bekerja setengah mati mengumpulkan uang sedikit demi sedikit dan beli tanah hak milik, kenapa hak milik dipaksa untuk dirampas dikembalikan ke negara dan orang tersebut diberi hak sewa. Orang Tionghoa ataupun orang India yang diangggap non pribumi... Kenapa sampai begitu?" kata Siput kepada BBC Indonesia.
Tanah yang dimaksud Siput adalah yang dibeli istrinya di Kulon Progo seluas 1.000 m2 sekitar enam bulan lalu dan sampai kini tak bisa diubah menjadi hak milik atas namanya karena -seperti dikutipnya dari pejabat Badan Pertanahan Nasional setempat- "Istri bapak orang Cina."
Upaya untuk menuntut hak juga dilakukan sejumlah penduduk Yogyakarta lain termasuk oleh Gerakan Anak Negeri Anti Diskriminasi (Granad) melalui Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, beberapa tahun lalu.
Komnas HAM sendiri memberikan rekomendasi kepada Gubernur Yogyakarta untuk mencabut kebijakan yang disebut 'diskiriminatif' itu.
"Seharusnya Yogyakarta sebagai salah satu daerah berbudaya di Indonesia telah menghapus kebijakan yang bernada diskriminasi. Kebijakan diskriminasi pada akhirnya hanya akan menghambat pembangunan di daerah tersebut," tulis Komnas melalui situs tertanggal 23 September 2015.
"Urusan ini sudah panjang sekali. Kami ke Komnas HAM sejak 2009 dan Komnas HAM keluarkan rekomendasi pada 2014," tambah Siput.
Siput juga bercerita tentang penduduk Yogyakarta lain, Handoko, yang menempuh gugatan uji materi ke Mahkamah Agung beberapa tahun lalu, namun ditolak karena "Surat Instruksi pada 1975 itu bukan produk undang-undang."
Tetapi Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, Yogyakarta, Arie Yuriwin, mengatakan pihaknya menjadikan putusan MA sebagai yurisprudensi.
"Putusan MA atas gugatan para nonpribumi untuk memperoleh hak milik dimenangkan oleh pihak Keraton, sehingga keputusan MA kita jadikan sebagai yurisprudensi... Ketentuan wakil gubernur itu tetap berlaku di DIY," kata Arie kepada BBC Indonesia, Rabu (05/10).
Arie juga mengatakan masalah ini sudah disampaikan ke Kementerian Dalam Negeri dan pihaknya menunggu keputusan.
Siput dan rekan-rekannya menyatakan masih akan terus berupaya untuk menghapus diskriminasi yang "tak terjadi di tempat lain" di Indonesia.
"Negara saya tak lagi mengenal adanya warga negara pribumi dan nonpribumi. Yang ada adalah warga negara Indonesia. Kenapa kami masih dianggap di sini (Yogyakarta) sebagai nonpribumi?"
"Saya ingin gubernur taat kepada perundangan... Saya ingin peraturan perundangan di tempat saya lahir ini ditegakkan oleh siapapun, jangan ada yang memalukan misalnya diskriminasi ras," tambah Siput.

PENYELESAIAN
Penyelesaian konflik seperti ini membutuhkan proses yang panjang, membutuhkan komitmen jangka panjang, dan dalam cara pandang yang berkesinambungan. Dalam hal ini menurut Lederach (1999,24), perlu adanya framework kuat yang dapat mengagendakan pemulihan relasional dalam rekonsiliasi sebagai komponen penting dalam program peacebuilding.
Menurut Robert J Schreiter (2000) dalam bukunya Reconciliation; mission and ministry in a chinging social order, paling tidak telah dikenal tiga bentuk rekonsiliasi, yaitu: rekonsiliasi sebagai bentuk perdamaian, rekonsiliasi sebagai ganti dari pembebasan, dan rekonsiliasi terkendali untuk menyelesaikan konflik.
Rekonsiliasi sebagai bentuk perdamaian biasanya ditawarkan oleh para pelaku kekerasan kepada para korbannya. Contoh klasik dari bentuk rekonsiliasi semacam ini adalah tawaran perdamaian dari keluarga Korawa terhadap keluarga Pandawa. Beribu kali keluarga Pandawa menerima siksaan dan kekerasan dari keluarga Korawa walaupun mereka adalah sepupu. Karena keluarga Korawa menyadari akan akibat-akibat lebih jauh yang akan membuat Keluarga Pandawa semakin mendapat dukungan kekuatan dari pihak lain maka Keluarga Korawa mengajak berdamai – berekonsiliasi.
Bentuk kedua dari rekonsiliasi adalah sebagai pengganti pembebasan. Pembebasan di sini bukan saja pembebasan dari praktek-praktek kekerasan tetapi juga pembebasan dari struktur dan sistem yang memungkinkan tindak kekerasan. Dengan rekonsiliasi maka si korban telah terbebaskan dari tindak kekerasan. Dengan rekonsiliasi berarti kekerasan dapat dengan cepat dan mudah ditanggulangi.
Bentuk ketiga, usaha memperkecil konflik. Bentuk ini biasanya diprakarsai oleh pakar konflik yang memediatori kedua belah pihak yang sedang berselisih. Maka, rekonsiliasi mejadi suatu proses perundingan dan diharapkan kedua pihak yang bertentangan dapat saling mengakui kepentingan masing-masing. Karena itu, proses yang seimbang harus diselenggarakan. Masing-masing pihak harus ‘mengorbankan’ sejumlah kepentingannya agar konflik tidak terjadi.
Contoh klasik model rekonsiliasi semacam ini adalah saran yang diberikan oleh para pinitua agar Keluarga Korawa menyerahkan setengah wilayah negara Astina kepada Keluarga Pandawa dan agar Keluarga Pandawa bersedia menerima bagian tersebut walaupun sesungguhnya seluruh kerajaan Astina ini haknya sebagai warisan dari raja Pandu, ayah mereka.
Agar sukses, rekonsiliasi itu harus sesuai dengan makna dasarnya sebagai upaya damai di antara pihak-pihak yang berseteru (re-establishing normal relations between belligerents) harus dipelihara dan dijaga dari kemungkinan provokasi dari kekuatan-kekuatan lain yang tidak menghendakinya. Thomas dan Kilmann (1975) mengusulkan empat langkah agar rekonsiliasi berjalan seperti diharapkan.
1.      Pertama, accommodation, yaitu langkah memahami dan memenuhi kepentingan pihak lain.
2.      Kedua, avoidance, yaitu menghindari dan melupakan hal-hal yang menjadi sumber konflik di masa lalu.
3.      Ketiga, collaboration, yaitu usaha bersama yang sungguh-sungguh dalam mencari solusi terbaik.
4.      Keempat, compromise, yaitu kesediaan dari kedua belah pihak untuk berbagi dan membuat kompromi-kompromi yang menguntungkan bersama.


Referensi


CONTOH KASUS KORUPSI, PEMALSUAN, PEMBAJAKAN DAN DISKRIMINASI

CONTOH KASUS KORUPSI, PEMALSUAN, PEMBAJAKAN DAN DISKRIMINASI DISUSUN OLEH :  Mevita  Silviana         16214608 Ke...