CONTOH KASUS KORUPSI, PEMALSUAN, PEMBAJAKAN DAN
DISKRIMINASI
DISUSUN OLEH :
Mevita Silviana 16214608
Kelas : 3EA43
MATA KULIAH ETIKA BISNIS
Dosen : STEVANI ADINDA NURUL HUDA, SE., M.IBF
FAKULTAS EKONOMI
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
UNIVERSITAS GUNADARMA
2017
Contoh
Kasus Korupsi
Malinda Dee Divonis 8 Tahun Penjara
JAKARTA, KOMPAS.com — Majelis hakim
di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis delapan tahun penjara
kepada Inong Malinda Dee binti Siswo Wiratmo (49). Majelis hakim yang diketuai
Gusrizal dalam sidang di ruang sidang utama PN Jaksel menilai terdakwa Malinda
terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana perbankan dan
pencucian uang yang didakwakan kepadanya.
"Menjatuhkan
hukuman pidana kepada terdakwa Inong Malinda Dee binti Siswo Wiratmo hukuman
penjara selama delapan tahun dan denda sebesar 10 miliar rupiah," kata
Ketua Majelis Hakim Gusrizal membacakan putusan di Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan, Rabu (7/3/2012).
Hakim menilai seluruh
dakwaan yang dikenakan kepada mantan Relationship Manager Citibank itu terbukti
secara sah dan meyakinkan. Empat dakwaan yang dikenakan kepada Malinda terdiri
atas dua dakwaan terkait tindak pidana perbankan, yaitu dakwaan primer Pasal 49
Ayat (1) huruf a UU Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No 10
Tahun 1998 tentang Perbankan juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP joPasal
65 Ayat (1) KUHP serta dakwaan subsider pertama, Pasal 49 Ayat (2) huruf b UU
No 7/1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No 10/1998 tentang Perbankan juncto Pasal
55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Malinda juga dianggap
terbukti bersalah melakukan tindak pidana pencucian sebagaimana disebutkan
dalam dakwaan subsider kedua Pasal 3 Ayat (1) Huruf b UU No 15/2002 sebagaimana
telah diubah dengan UU No 25/2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal
65 Ayat (1) KUHP dan dakwaan subsider ketiga Pasal 3 UU No 8/2010 tentang Pencegahan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Putusan majelis hakim
berselisih lima tahun dengan tuntutan jaksa. Hal yang meringankan terdakwa
dalam pertimbangan hakim adalah terdakwa masih memiliki anak-anak yang
membutuhkan asuhan orangtua. Sementara itu, hal yang memberatkan, antara lain,
adalah Malinda dianggap berbelit-belit dalam menyampaikan keterangan di
persidangan.
PENYELESAIAN
Penerapan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dalam penanggulangan Kasus Korupsi.
PENYELESAIAN
Penerapan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dalam penanggulangan Kasus Korupsi.
Undang-Undang ini telah
diterapkan dalam penanganan kasus Bahasyiem dan Gayus sebelumnya dan
memperoleh hasil yang memuaskan dan signifikan, dengan penerapan asas beban
pembuktian terbalik (the shifting of burden of proof). Didalam kasus
korupsi, apabila jaksa tidak dapat membuktikan kesalahan terdakwa menyebabkan
terdakwa harus di bebaskan, sudah menjadi rahasia umum bahwa sistematisasi
pemberian dan korupsi itu terbungkus sangat rapi, sehingga sulit untuk dilacak.
Antara lain memberian dalam bentuk fisik (tunai), bukan dengan cara transfer,
sebab dengan cara transfer akan sangat mudah untuk dilacak dari nomer
rekeningnya. Asas pembuktian terbalik telah diterapkan yaitu pada UU
No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana
korupsi yang menggunakan asas pembuktian terbalik ( pada Pasal 12B,
12C, serta 37 ) dan .Keunggulan UU ini adalah terletak pada kewajiban Lembaga
Penyedia Jasa Keuangan dan Lembaga Penyedia Barang untuk melaporkan kepada
PPATK tentang transaksi keuangan mencurigakan untuk dianalisis oleh PPATK dan
menghasilkan Laporan Hasil Analisis (LHA).
Dalam penerapannya,
tidak ada ketentuan yang mengharuskan untuk mengungkap kasus korupsinya dulu
barulah tindak pidana money laundering, penerapan pasal pencucian uang dapat
menjadi strategi bagi KPK untuk mengungkap kasus tindak Pidana korupsi dengan
cara menelusuri aliran transaksi keuangan dari rekening si pelaku. Ini sebagai
strategi baru dalam pengungkapan suatu tindak pidana kejahatan, bukan dari hulu
melainkan dari hilir. Karena pada hakikatnya kejahatan Money Laundry bukanlah
suatu kejahatan yang berdiri sendiri, namun sebagai bentuk follow up atau
modus untuk menyamarkan asal-usul uang yang telah didapat dari suatu tindak
pidana yang telah dilakukan sebelumnya, agar seolah-olah uang tersebut menjadi
legal asal usulnya.
Jika dalam penanganan
kasus korupsi kemudian kita menggunakan UU Tindak Pidana Korupsi maka yang kita
dapat hanyalah memenjarakan pelaku, namun apabila kita juga menjerat para
pelaku dengan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, maka ada satu bentuk
upaya penyelamatan uang negara dengan cara penyitaan aset pelaku sebelum
ataupun sesudah kasus korupsi tersebut terbukti di pengadilan. Undang-Undang
TPPU memprioritaskan untuk mengejar aset. Kasarnya, dengan UU TPPU kita bisa
‘memiskinkan’ pelaku korupsi dengan penyitaan aset yang dicurigai sebagai
barang bukti dari kejahatan yang disembunyikannya dengan cepat.
Contoh
Kasus Pemalsuan
Sukmawati Tersangka Pemalsuan Ijazah
VIVAnews - Kepolisian menetapkan
mantan calon legislator dari Partai Nasional Indonesia Marhaenisme, Sukmawati
Sukarno, sebagai tersangka pemalsuan ijazah. Anak Proklamator Sukarno itu
diancam penjara maksimal 6 tahun penjara.
"Dia diperiksa sebagai tersangka
ijazah palsu," ungkap Direktur I Keamanan Trans Nasional Badan Reserse
Kriminal Kepolisian RI, Brigadir Jenderal Badrodin Haiti, saat dihubungi,
Kamis, 13 November 2008.
Dalam pemeriksaan pertamanya yang
berlangsung dari pukul 10.00 sampai pukul 15.45 Waktu Indonesia Barat,
Sukmawati tak mengakui telah memalsukan ijazah Sekolah Menengah Atas Negeri 3
Jakarta. Namun polisi tak bisa mempercayai ijazahnya karena pihak sekolah telah
mengkonfirmasi "Kalau dia sekolah di sana hanya kelas satu sampai dua."
"Tapi waktu kita tanya, ijazah aslinya, dia bilang hilang," kata
Badrodin.
Polisi menggunakan Undang-undang No 10
Tahun 2008 tentang Pemilu untuk menjerat adik kandung Ketua Umum Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan, Megawati Sukarno, itu. "Kalau nanti
terbukti, dia akan dikenakan pasal 266 UU 10/2008 tentang pemalsuan dokumen.
Tuduhannya itu. Tapi dia sekarang mengelak," kata Badrodin. Namun polisi
akan terus mendalami dengan melanjutkan memeriksa sejumlah saksi.
Untuk diketahui pasal 266 berbunyi:
"Setiap orang yang dengan sengaja
membuat surat atau dokumen dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang
memakai, atau setiap orang yang dengan sengaja menggunakan surat atau dokumen
yang dipalsukan untuk menjadi bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD
kabupaten/kota atau calon Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63
dan dalam Pasal 73, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga
puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling
sedikit Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp
72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah)."
Sukmawati sebelumnya mendaftar sebagai
calon legislator nomor urut 1 dari daerah pemilihan Bali. Sebelum dugaan ijazah
palsu mengemuka, Sukmawati memilih mengundurkan diri terlebih dulu.
PENYELESAIAN
Untuk menghindari
penggunaan ijazah palsu maka harus diperlukan suatu teknologi untuk proses
pengecekan. Akan tetapi seharusnya perguruan tinggi sudah saatinya untuk
melakukan perubahan dalam proses pencetakan ijazah yang menggunakan tanda
tangan digital. Tanda tangan digital merupakan salah satu tanda tangan
elektronik untuk membuktikan keaslian suatu ijazah yang dikeluarkan oleh
perguruan tinggi.Dan sudah saatinya ijazah yang diterbitkan oleh perguruan
tinggi harus mengganakan tanda tangan digital. Dan jika ijazah tersebut
digunakan oleh pihak perusahaan atau instansi pemerintah, maka perusahaan
tersebut harus juga menyediakan mesin pembaca ijazah atau yang sering disebut
dengan card Reader.
Untuk memanfaatkan
teknologi tersebut tentunya sebagai user harus berupaya dalam
mengimplementasikannya agar semua proses penerbitan dan pengecekan ijazah dapat
berjalan dengan baik.
Akhirnya barangkali
yang diperlukan adalah keseriusan kita untuk kembali berbenah diri dengan tekad
dan semangat yang baru untuk meningkatkan mutu pendidikan kita. Hari esok harus
lebih baik dari hari ini .Penomena ijazah palsu dan beras palsu harus
dihentikan secara paksa. Peran masyarakat sangat diharapkan untuk mengawal
dalam pemberantasan baik yang terstruktur ataupun oknum-oknum pencari uang yang
cara instan. Jangan sampai ada pejabat pemerintah, swasta bahkan professor
masuk penjara, sehingga memungkinkan dapat memperparah kepercayaan masyarakat
terhadap lembaga pendidikan di Indonesia.Tuntaskan Ijazah Palsu dan pada saat
yang sama kita perbaiki system pendidikan tinggi sehingga setiap orang memperoleh
ijazah dan dapat mempergunakannya dengan bangga dan dapat memberikan kontribusi
positif kepada pembangunan bangsa dan Negara Indonesia.
Contoh
Kasus Pembajakan
Kasus Pembajakan Situs Resmi PT. Mustika
Ratu
Dibawah ini adalah contoh kasus yang
diangkat oleh website majalah tempo tentang cybercrime domain name.
PERADILAN pidana Indonesia kini memasuki
dunia baru. Untuk pertama-kalinya, kasus situs di jagat internet disidangkan di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Terdakwanya Tjandra Sugiono, 32 tahun,
Presiden Direktur PT Djagomas, perusahaan di bidang teknologi informasi.
Tjandra dituduh telah membajak nama domain www.mustika-ratu.com di situs dunia maya. Menurut Jaksa
Suhardi, Tjandra, yang lulusan computer science dari Universitas
North Eastern, Amerika, mendaftarkan nama domain Mustika Ratu ke Network
Solution Inc. di Amerika, pada 7 Oktober 1999.
Ketika itu Tjandra
sebagai Manajer Umum Pemasaran Internasional PT Martina Bertho, produsen jamu
dan kosmetik tradisional Sari Ayu, bertugas memasarkan produk Sari Ayu di luar
negeri. Kebetulan, Tjandra adalah menantu Ratna Pranata, adik kandung Martha
Tilaar, bos Sari Ayu-saingan utama PT Mustika Ratu milik Mooryati Sudibyo.
Kontan Mustika Ratu, sebagai pemilik merek dagang yang nama domainnya
di-serobot, merasa berang. Apalagi situs buatan Tjandra justru menampilkan
produk Sari Ayu.
Perbuatan Tjandra, kata
Jaksa Suhardi, tergolong persaingan curang dengan cara menipu masyarakat
konsumen dan merugikan Mustika Ratu. Karenanya, jaksa membidik terdakwa dengan
Pasal 382 bis KUHP, yang berancaman maksimal hukuman setahun empat bulan
penjara. Selain menggunakan pasal persaingan curang di KUHP, yang dulu acap
diterapkan pada kasus pembajakan merek dagang, jaksa juga menjaring terdakwa
dengan Pasal 19 Huruf b dan Pasal 48 Ayat (1) Undang-Undang Antimonopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pasal ini mengancam pelaku usaha yang menghalangi
masyarakat konsumen berhubungan dengan pelaku usaha saingannya, dengan denda
minimum Rp 25 miliar atau maksimum Rp 100 miliar.
Sepintas, dakwaan jaksa
cukup seram. Toh, Tjandra mengaku dirinya tak beritikad buruk membajak nama
domain Mustika Ratu. "Kalau saya beritikad buruk, ngapain saya cantumin nama
saya," ujar Tjandra. Buktinya, tutur Tjandra, pada September 2000 ia telah
mencabut domain itu dari Network Solution dan mengembalikannya kepada Mustika
Ratu. Lagi pula, kata pengacara Tjandra, Didi Irawadi Syamsudin, Tjandra tak
menjelek-jelekkan apalagi merugikan Mustika Ratu lewat domain tersebut.
Soalnya, kata Didi, Tjandra tak mengisi apa pun di situs itu. Bagi Didi,
kliennya tak bisa dianggap melanggar hukum. Sebab, di dunia maya, siapa pun
boleh mendaftarkan nama domain apa pun. Toh, nama domain cuma sekadar alamat
atau nomor telepon untuk mempermudah pencarian informasi melalui internet. Nama
domain di jagat maya tak seperti nama merek dagang di dunia nyata.
Yang penting, begitu
suatu nama terdaftar, pendaftar berikutnya tak boleh menggunakan nama domain
serupa. Kalau nama digital berbuntut com sudah didaftarkan orang
lain, pendaftar berikutnya bisa memakai nama berakhiran org, net, atau co.id.
Itulah yang dilakukan Mustika Ratu dengan nama domain www.mustika-ratu.co.id. Sementara
itu, ada orang lain di Amerika yang juga mendaftarkan domain dengan nama mustikaratu.com,
mustikaratu.net, dan mustikaratu.org. "Kalau Mustika Ratu merasa
dirugikan, kenapa pendaftar lainnya itu tak dituntut?" kata Didi. Menurut
anak dari pengacara senior Amir Syamsuddin itu, perkara Tjandra tak layak
diadili. Sebab, hingga kini belum ada undang-undang khusus tentang cyber
law.
Pasal persaingan curang
dalam KUHP ataupun dalam Undang-Undang Antimonopoli yang diterapkan jaksa, kata
Didi, tidak tepat karena Tjandra bukan pesaing Mustika Ratu. PT Martina Bertho
juga menyatakan, perkara Tjandra tak berkaitan dengan PT Martina. Perbuatan
Tjandra dilakukan sebagai Presiden Direktur PT Djagomas, bukan sebagai Manajer
Umum Pemasaran Internasional PT Martina. Tapi, kata jaksa, Tjandra mundur dari
jabatan di PT Martina Bertho pada Juni 2000 setelah kasus terjadi. Kalau
Undang-Undang Antimonopoli dipaksakan, kata Didi, itu pun bukan komptensi
pengadilan, melainkan wewenang Komisi Persaingan Usaha. Ini pun dengan catatan
masih masih ada persoalan menyangkut yurisdiksi hukum. Sebab, perkara internet
menyangkut dunia maya dan pendaftaran nama domainnya di Amerika. Sekalipun
demikian, Didi membenarkan kemungkinan perkara Tjandra lebih tepat diuji di
pengadilan perdata. Pendapat senada juga diutarakan ahli hukum internet di
Universitas Padjadjaran, Bandung, Ahmad M. Ramli. "Kalau diterapkan Pasal
382 bis KUHP ataupun Undang-Undang Antimonopoli, itu bukan hanya tak tepat dan
tak adil, tapi juga tragedi bagi dunia cyber," kata Ramli. Boleh jadi
Didi dan Ramli merujuk pendapatnya pada pelbagai kasus penyalahgunaan nama
domain yang pernah terjadi di Amerika. Tentu termasuk pula kasus pendaftaran
nama domain lebih dulu untuk kemudian dijual dengan harga selangit kepada yang
berminat, bahkan kepada pemilik asli nama yang digunakan. Ini mirip rimba merek
dagang di Indonesia. Berbagai kasus itu telah diputuskan, baik oleh pengadilan
maupun arbitrase di Organisasi Dunia untuk Hak-Hak Milik Intelektual (WIPO). Di
antaranya kasus penggunaan nama artis Hollywood, Julia Roberts. Ada pula kasus
Dennis Toeppen, sang pembajak merek terkenal yang telah dihukum berkali-kali
supaya membayar ganti rugi. Satu hal penting yang diterapkan pada aneka perkara
di Amerika itu adalah itikad baik bagi pengguna dan pendaftar nama domain.
PENYELESAIAN
Dari contoh kasus
diatas, saya dapat menyimpulkan bahwa memang perlu dibuatnya undang-undang
dalam dunia internet (cyber law) di Indonesia. Undang-undang yang mengatur
segala hal dalam dunia cyber. Yang pastinya undang-undang tersebut dibuat oleh
para pakar IT yang ahli dibidangnya.
Internet bukan suatu
hal yang baru lagi, bahkan tingkat SD pun sudah menggunakan internet sebagai
tempat untuk mencari bahan pelajaran. Karena itu sebaiknya pemerintah perlu
memikirkan lagi tentang cyber law.
Seperti kasus diatas,
jika ada undang-undang yang mengatur tentang domain name, kemungkinan pihak
yang membuat namawww.mustika-ratu.com dapat
dituntut karena menggunakan nama domain yang sama dengan nama perusahaan, yang
sebenarnya apa yang ditampilkan di dalam website tersebut adalah bukan produk
buatan mustika ratu tapi buatan sari ayu.
Tapi sayangnya di
Indonesia belum ada undang-undang yang cukup jelas tentang cyber, khususnya
domain name pada kasus ini. Malah dikaitkan dengan pasal 382 bis KUHP,
yang berancaman maksimal hukuman setahun empat bulan penjara. Selain
menggunakan pasal persaingan curang di KUHP, yang dulu acap diterapkan pada
kasus pembajakan merek dagang, jaksa juga menjaring terdakwa dengan Pasal 19
Huruf b dan Pasal 48 Ayat (1) Undang-Undang Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat. Pasal ini mengancam pelaku usaha yang menghalangi masyarakat
konsumen berhubungan dengan pelaku usaha saingannya, dengan denda minimum Rp 25
miliar atau maksimum Rp 100 miliar.
Pasal ini menurut saya
tidak cukup kuat untuk menjatuhkan hukuman karena tidak kuatnya isi pasal
tersebut dengan kasus yang ada. Apalagi dunia cyber, semuanya serba maya, tidak
bisa dihubungkan dengan pasal-pasal tersebut.
Saran saya, pemerintah
atau siapa pun itu yang ahli di bidang IT, mungkin Roy Suryo, dapat memikirkan
cyber law untuk kedepannya. Karena pastinya untuk 10 tahun kedepan, dunia cyber
akan makin marak dengan berbagai kemungkinan yang tidak mungkin tapi bisa
menjadi mungkin didunia cyber. Tapi harus berhati-hati jika membuat cyber law,
jangan sampai merugikan pihak yang tidak bersalah.
Contoh
Kasus Diskriminasi
Kasus Diskriminasi RAS di Yogyakarta
Dalam beberapa bulan
terakhir ini, seorang penduduk Yogyakarta berusia 60-an, berupaya menghubungi
Sultan Hamengkubuwono X untuk menanyakan tentang hak kepemilikan tanah di kota
kelahirannya yang ia anggap diskriminatif.
Siput Lokasari mulai
mengontak Sultan beberapa bulan lalu untuk meminta Gubernur Daerah Istimewa
Yogyakarta ini membatalkan Surat Instruksi Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta
yang dikeluarkan pada 1975 lalu, berisi larangan warga nonpribumi memiliki
tanah.
"Kenapa harus ada
diskriminasi ras... Orang Tionghoa bekerja setengah mati mengumpulkan uang
sedikit demi sedikit dan beli tanah hak milik, kenapa hak milik dipaksa untuk
dirampas dikembalikan ke negara dan orang tersebut diberi hak sewa. Orang
Tionghoa ataupun orang India yang diangggap non pribumi... Kenapa sampai
begitu?" kata Siput kepada BBC Indonesia.
Tanah yang dimaksud
Siput adalah yang dibeli istrinya di Kulon Progo seluas 1.000 m2 sekitar enam
bulan lalu dan sampai kini tak bisa diubah menjadi hak milik atas namanya
karena -seperti dikutipnya dari pejabat Badan Pertanahan Nasional setempat-
"Istri bapak orang Cina."
Upaya untuk menuntut
hak juga dilakukan sejumlah penduduk Yogyakarta lain termasuk oleh Gerakan Anak
Negeri Anti Diskriminasi (Granad) melalui Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,
beberapa tahun lalu.
Komnas HAM sendiri
memberikan rekomendasi kepada Gubernur Yogyakarta untuk mencabut kebijakan yang
disebut 'diskiriminatif' itu.
"Seharusnya
Yogyakarta sebagai salah satu daerah berbudaya di Indonesia telah menghapus
kebijakan yang bernada diskriminasi. Kebijakan diskriminasi pada akhirnya hanya
akan menghambat pembangunan di daerah tersebut," tulis Komnas melalui
situs tertanggal 23 September 2015.
"Urusan ini sudah
panjang sekali. Kami ke Komnas HAM sejak 2009 dan Komnas HAM keluarkan
rekomendasi pada 2014," tambah Siput.
Siput juga bercerita
tentang penduduk Yogyakarta lain, Handoko, yang menempuh gugatan uji materi ke
Mahkamah Agung beberapa tahun lalu, namun ditolak karena "Surat Instruksi
pada 1975 itu bukan produk undang-undang."
Tetapi Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional, Yogyakarta, Arie Yuriwin, mengatakan
pihaknya menjadikan putusan MA sebagai yurisprudensi.
"Putusan MA atas
gugatan para nonpribumi untuk memperoleh hak milik dimenangkan oleh pihak
Keraton, sehingga keputusan MA kita jadikan sebagai yurisprudensi... Ketentuan
wakil gubernur itu tetap berlaku di DIY," kata Arie kepada BBC Indonesia,
Rabu (05/10).
Arie juga mengatakan
masalah ini sudah disampaikan ke Kementerian Dalam Negeri dan pihaknya menunggu
keputusan.
Siput dan
rekan-rekannya menyatakan masih akan terus berupaya untuk menghapus
diskriminasi yang "tak terjadi di tempat lain" di Indonesia.
"Negara saya tak
lagi mengenal adanya warga negara pribumi dan nonpribumi. Yang ada adalah warga
negara Indonesia. Kenapa kami masih dianggap di sini (Yogyakarta) sebagai
nonpribumi?"
"Saya ingin
gubernur taat kepada perundangan... Saya ingin peraturan perundangan di tempat
saya lahir ini ditegakkan oleh siapapun, jangan ada yang memalukan misalnya
diskriminasi ras," tambah Siput.
PENYELESAIAN
Penyelesaian konflik seperti
ini membutuhkan proses yang panjang, membutuhkan komitmen jangka panjang, dan
dalam cara pandang yang berkesinambungan. Dalam hal ini menurut Lederach
(1999,24), perlu adanya framework kuat yang dapat mengagendakan pemulihan
relasional dalam rekonsiliasi sebagai komponen penting dalam program
peacebuilding.
Menurut Robert J
Schreiter (2000) dalam bukunya Reconciliation; mission and ministry in a
chinging social order, paling tidak telah dikenal tiga bentuk rekonsiliasi,
yaitu: rekonsiliasi sebagai bentuk perdamaian, rekonsiliasi sebagai ganti dari
pembebasan, dan rekonsiliasi terkendali untuk menyelesaikan konflik.
Rekonsiliasi sebagai
bentuk perdamaian biasanya ditawarkan oleh para pelaku kekerasan kepada para
korbannya. Contoh klasik dari bentuk rekonsiliasi semacam ini adalah tawaran
perdamaian dari keluarga Korawa terhadap keluarga Pandawa. Beribu kali keluarga
Pandawa menerima siksaan dan kekerasan dari keluarga Korawa walaupun mereka
adalah sepupu. Karena keluarga Korawa menyadari akan akibat-akibat lebih jauh
yang akan membuat Keluarga Pandawa semakin mendapat dukungan kekuatan dari
pihak lain maka Keluarga Korawa mengajak berdamai – berekonsiliasi.
Bentuk kedua dari
rekonsiliasi adalah sebagai pengganti pembebasan. Pembebasan di sini bukan saja
pembebasan dari praktek-praktek kekerasan tetapi juga pembebasan dari struktur
dan sistem yang memungkinkan tindak kekerasan. Dengan rekonsiliasi maka si
korban telah terbebaskan dari tindak kekerasan. Dengan rekonsiliasi berarti
kekerasan dapat dengan cepat dan mudah ditanggulangi.
Bentuk ketiga, usaha
memperkecil konflik. Bentuk ini biasanya diprakarsai oleh pakar konflik yang
memediatori kedua belah pihak yang sedang berselisih. Maka, rekonsiliasi mejadi
suatu proses perundingan dan diharapkan kedua pihak yang bertentangan dapat
saling mengakui kepentingan masing-masing. Karena itu, proses yang seimbang
harus diselenggarakan. Masing-masing pihak harus ‘mengorbankan’ sejumlah
kepentingannya agar konflik tidak terjadi.
Contoh klasik model
rekonsiliasi semacam ini adalah saran yang diberikan oleh para pinitua agar
Keluarga Korawa menyerahkan setengah wilayah negara Astina kepada Keluarga
Pandawa dan agar Keluarga Pandawa bersedia menerima bagian tersebut walaupun
sesungguhnya seluruh kerajaan Astina ini haknya sebagai warisan dari raja
Pandu, ayah mereka.
Agar sukses,
rekonsiliasi itu harus sesuai dengan makna dasarnya sebagai upaya damai di
antara pihak-pihak yang berseteru (re-establishing normal relations between
belligerents) harus dipelihara dan dijaga dari kemungkinan provokasi dari
kekuatan-kekuatan lain yang tidak menghendakinya. Thomas dan Kilmann (1975)
mengusulkan empat langkah agar rekonsiliasi berjalan seperti diharapkan.
1.
Pertama, accommodation, yaitu langkah
memahami dan memenuhi kepentingan pihak lain.
2.
Kedua, avoidance, yaitu menghindari dan
melupakan hal-hal yang menjadi sumber konflik di masa lalu.
3.
Ketiga, collaboration, yaitu usaha
bersama yang sungguh-sungguh dalam mencari solusi terbaik.
4.
Keempat, compromise, yaitu kesediaan
dari kedua belah pihak untuk berbagi dan membuat kompromi-kompromi yang
menguntungkan bersama.
Referensi


